Iklan

IBNU HAZM DAN POKOK-POKOK PEMIKIRAN USHULNYA

Posted by Syafiq on Senin, 14 April 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Cordoba Spanyol pernah menjadi kota metropolitan yang melahirkan banyak pemikir-pemikir besar seperti Ibn Rusyd, Ibn Abd al-Barr, Ibn Bajah, Daud al-Asbihani, Ibn Ali Ibn Hazm dan lain sebagainya. Menurut Atho’ Mudzhar, ketika itu di cordoba telah memiliki lebih dari tujuh puluh perpustakaan yang dapat menjadi tempat rujukan dalam penelitian. Disamping itu adanya dukungan penguasa menjadi hal yang penting, dengan mendatangkan ulama-ulama dan kitab-kitab dari timur, sebut saja Abdurrahman al-nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun, sehingga dunia keilmuan menjadi lebih hidup.
Keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm. Ketika itu, perpustakaan dan universitas di Cordoba berkembang dengan pesat. Sementara itu, Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu Yunani, baik filsafat, matematika, ataupun kedokteran. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan Ibnu Hazm untuk memperdalam pengetahuannya di berbagai disiplin ilmu dan membentuk kerangka berpikir yang komprehensif.
Ibnu Hazm merupakan ulama besar, pakar fiqh, ushûl fiqh, ahli hadîts, dan ahli teologi. Ia adalah pengembang madzhab Dhâhiri, bahkan dinilai sebagai pendiri kedua madzhab Dhâhiri.
Ibn Hazm termasuk diantara mereka yang mempunyai pendapat-pendapat yang dianggap berbeda, sebut saja pendapat tentang qashar dalam sholat, melihat seluruh anggota tubuh wanita ketika meminang, memegang al-Qur’an dibolehkan bagi orang yang berhadas besar dan lain sebagainya.
Produk hukum fikih tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi saat dan di mana hukum itu lahir. Gejolak politik, latar belakang pendidikan, situasi keamanan sangat berpengaruh terhadap corak hukum fikih. Dalam makalah ini akan dibahas latar belakang pendidikan, situasi politik dan tokoh-tokoh yang semasa dengan Ibnu Hazm.
2.    Rumusan Masalah
a.       Apa latar belakang pendidikan Ibnu Hazm?
b.      Bagaimana situasi politik pada masa Ibnu Hazm?
c.       Seperti apa nalar pemikiran pada masa Ibnu Hazm?
d.      Siapa saja pendukung dan penyebar pemikiran Ibnu Hazm?

3.    Tujuan Pembahasan
a.       Mengetahui riwayat pendidikan Ibnu Hazm
b.      Mengetahui kondisi politik pada masa Ibnu Hazm
c.       Mengetahui model pemikiran tokoh-tokoh pada zaman Ibnu Hazm
d.      Memetakan lokasi penyebaran pemikiran Ibnu Hazm




BAB II
PEMBAHASAN

1.     Biografi Ibnu Hazm (384-456 H/994-1064 M)

a.      Kelahiran Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn Khalaf ibn Sa’d ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab klasik ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Dilahirkan di Kordoba, Spanyol  pada akhir Ramadlān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansûr dan puteranya, al-Mudzaffar, khalifah Bani Umayyah di Andalusia.
Secara garis keturunan, keluarga Hazm sebenarnya berasal dari Persia. Namun loyalitas utamanya diberikan kepada Bani Umayah. Sama seperti ayahnya, beberapa kali ia diserahi jabatan menteri oleh penguasa Andalusia. Dengan demikian selain sebagai seorang ulama, Ibnu Hazm juga memiliki kepiawaian dalam berpolitik. Tak jarang pula karena faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi berdarah karena membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi khalifah. Karena sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan bahkan pernah diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Di kemudian hari setelah ia menyadari bahwa keterlibatannya di bidang politik praktis hanya akan menghasilkan kenihilan, ia merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

b.      Pendidikan Ibnu Hazm
Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan dididik oleh guru-gurunya tentang al-Qur’ân, sya’ir Arab, dan kaligrafi. Menginjak masa remaja, Ibnu Hazm mulai mempelajari fiqh dan hadîts dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantiq, ilmu jiwa, di samping ia juga memperdalam fiqh dan hadîts.
Pada usia dewasa inilah, Ibnu Hazm mengarahkan pendidikannya ke majlis taklim di masjid-masjid Cordoba. Di sana ia mulai berdialog dengan guru dan pakar ilmu agama. Beberapa di antara gurunya di bidang hadîts, bahasa, logika, dan teologi adalah Yahyâ bin Mas’ûd bin Wajah al-Jannah dan Abu al-Qâsim Abdurrahman bin Abi Yazîd al-Azdi. Di bidang fiqh dan peradilan, ia belajar dari al-Khiyâr al-Lughawi. Guru khusus di bidang fiqh adalah Abi Amr Ahmad bin al-Husain, Yûsuf bin Abdullâh (Hakim Cordoba), Abdullâh bin Rabî’ al-Tamîmi, dan Abi Amr al-Tamanki.
Dalam ranah fikih, sebelum memilih untuk menganut mazhab Zahiri, Ibnu Hazm adalah seorang pengikut mazhab Maliki, sebab mazhab ini adalah mazhab resmi yang dipakai di Andalusia dan Afrika Utara saat itu. Ketika masih mengikuti mazhab ini kecenderungan untuk tidak terbelenggu dengan ikatan mazhab sesungguhnya sudah ada pada dirinya, sehingga wajar di kemudian hari ia memutuskan keluar dari Mazhab Maliki dan pindah ke Mazhab Syafii. Faktor yang membuatnya tertarik dan terkagum-kagum pada mazhab ini adalah keberpihakan dan penguasaan Syafii terhadap nash, penolakan terhadap konsep istihsan dan maslahah mursalah. Hanya bertahan beberapa saat di Mazhab Syafii ia memutuskan untuk hengkang. Ia merasa tidak puas karena mazhab ini masih menggunakan qiyas yang merupakan instrumen dari ijtihad bil ra’yi yang sangat ia kecam. Ia akhirnya memutuskan menarik diri dari Mazhab Syafii dan memilih Mazhab Zahiri yang didirikan oleh Abu Dawud (w. 883 M/270 H) dari Ashfahan (340 km di selatan Teheran Ibu kota Iran). Alasan utama ia memilih mazhab ini adalah kesamaan platform dalam berijtihad.
Keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm. Ketika itu, perpustakaan dan universitas di Cordoba berkembang dengan pesat. Sementara itu, Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu Yunani, baik filsafat, matematika, ataupun kedokteran. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan Ibnu Hazm untuk memperdalam pengetahuannya di berbagai disiplin ilmu dan membentuk kerangka berpikir yang komprehensif.
Tidak mengherankan, jika Ibn Hazm menjadi seorang pemikir yang tersohor di seantero dunia. Kitab–kitab buah pemikiran Ibn Hazm banyak menjadi rujukan kaum intelektual, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Hal ini mengingat keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu sangat mendukung kemajuan intelektual.
Kepindahan Ibn Hazm ke madzhab dhahiri didukung oleh kondisi yang ada pada abad III H. Banyak Ulama Cordoba yang belajar ke timur seperti Baghdad yang menjadi pusat dinasti Abbasiah. Diantara Ulama Cordoba yang belajar ke Baghdad adalah Baqqu bin Mukhalid, Abu Abdullah bin Wahbah Bazbazi dan Qasim bin Asbagh bin Muhammad bin Yusuf. Mereka tertarik kepada madzhab dhahiri setelah tidak puas dengan madzhab yang mereka pelajari dari fiqih Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali, ketertarikan mereka adalah karena madhab Dhahiri hanya terikat kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah, ditangan merekalah madzhab dhahiri berkembang di Andalusia. Hal lain yang mendorong Ibn Hazm adalah kondisi andalusia kala itu yang mencapai puncak keilmuan, pada saat itu lahir ulama-ulama terkenal yang luas ilmunya dalam segala disiplin ilmu seperti Ibn Abd Barr. Disamping ilmu-ilmu keislaman Andalusia terkenal dengan ilmu-ilmu filsafat yang melahirkan filasof-filosof muslim seperti Ibn Rusyd dan Ibn Bajah. Kondisi tersebut didukung juga oleh penguasa kala itu, Abdurrahman al-Nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun. Dia mendatangkan ulama-ulama timur, membangun perpustakaan dan mendatangkan kitab-kitab yang berkembang di timur.
Diantara guru-guru Ibn Hazm yang mewarnai pemikirannya adalah: Ibn Abd Barr al-maliki, Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya bin Mas’ud, Abu Al-khiyar Mas’ud bin Sulaiman Al-dhahiri, Yunus bin Abdullah Al-Qadhi, Muhammad bin Said bin Sa’i, Abdullah bin Al-Rabi’ Al-Tamimi, Abdullah bin Yusuf bin Nami. Ibn hazm juga memepunyai beberapa murid setia yang menyebarkan pendapat-pendapatnya, diantara mereka adalah : Abu Abdullah Al-Humaidi, Suraih bin Muhammad bin Suraih Al-Muqbiri, Abu Rafi’, Abu Usamah Ya’qub, Abu Sulaiman Al-Mus’ib, Imam Abu Muhammad bin Al-Maqribi.

2.     Atmosfir Politik Masa Ibnu Hazm
Sebagai anak dari seorang menteri, Ibnu Hazm mulai berkenalan dengan dunia politik ketika berusia lima tahun. Pada saat itu suasana politik di Andalus sangat tidak stabil, dimana pemberontakan terjadi berulang-ulang. Perebutan kekuasaan Al-Mansur dan Hikam II (sebelum Al-Mansur) berujung pada perpecahan intern pada umat Islam yang nanti di kemudian hari setelah semakin mengental akan menjadi faktor fundamental jatuhnya Andalusia ke tangan raja Kristen Alvonso VI pada tahun 1072 M.  
Keterlibatan Ibnu Hazm didunia politik secara langsung terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman V Al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III Al-Mu’tamid (1027-1031). Pada masa kedua khalifah ini, Ibnu Hazm menduduki jabatan menteri. Pada masa pemerinahan Abdurrahman V, Ibnu Hazm bersama-sama dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada di Spanyol dari tangan musuh. Akan tetapi dalam usaha merebut wilayah itu khalifah terbunuh dan Ibnu Hazm tertangkap. Kemudian ia dipenjarakan.
Dikarenakan faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi berdarah karena membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi khalifah. Karena sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Dikemudian hari setelah ia menyadari bahwa keterlibatanya dibidang politik praktis hanya akan menghasilkan kenihilan , ia merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

3.     Situasi Pemikiran Masa Ibnu Hazm
Kondisi sosial keagamaan di Andalusia yang multikultural telah menjadi faktor penting bagi lahirnya perhatian Ibnu Hazm terhadap perbandingan agama. Andalusia saat itu adalah negeri yang didiami oleh berbagai macam suku, budaya, ras dan agama. Andalusia dihuni oleh umat Islam, Yahudi dan Kristen. Komunitas Yahudi relatif tidak memberikan gangguan politik karena mereka merasa bahwa Islam telah berjasa dengan menyelamatkan mereka dari persekusi Kaum Kristen yang terus memuncak sebelum Islam datang. Penganut agama Kristen lah yang memberikan ancaman politik bagi Islam di Andalusia karena kekuasaan direbut dari tangan mereka. Secara teologis, pertemuan tiga agama ini tak pelak lagi telah melahirkan banyak benturan pemikiran. Ibnu Hazm mengambil langkah cerdas dengan menyusun kitab yang menjelaskan tentang seluk-beluk agama-agama di Andalusia, di antaranya adalah kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Penjelasan Rinci Mengenai Agama, Klenik dan Sekte) dan “Izhar Tabdil al-Yahud wa al-Nashara wa Bayanu Tanaqudh ma Biaydihim min Dzalika min ma la Yahtamilut Takwil” (Penjelasan tentang Distorsi Orang-orang Yahudi dan Kristen dan Kontradiksi di antara Mereka yang Sudah Sangat Terang).
Pada Mulanya Ibn Hazm terjun di dunia politik, namun perjalanan politik yang dilaluinya tidak sesuai dengan ide-ide yang diharapkannya, politik cenderung berorientasi kepada kekuasaan dan nafsu, sedangkan Ibn  Hazm adalah seorang ilmuan yang ikhlas dan jujur sehingga Ibn Hazm keluar dari dunia politik dan menekuni bidang ilmiah membaca mengajar dan menulis. Ibn Hazm selalu mengembangkan pendapatnya dimana saja dia berada, di Valencia, Kairawan, Cordoba dan lain-lain. Namun setelah penguasa Valencia (Ahmad bin Rasyid) meninggal, pengaruh Ibn Hazm mulai melemah. Lawan-lawannya mulai menggunakan kekuasaan untuk mengucilkan Ibn Hazm dari masyarakat, bahkan di Asbelia Ibn Hazm menerima siksaan dari penguasa al-Mu’tamid Ibn Ibad dan buku-bukunya dibakar. Hal tersebut memaksa Ibn Hazm kembali mudik ke kampung halamannya dan memusatkan perhatiannya penuh pada bidang keilmuan. Menurut Hasbi Ash-Shidiqi, motif penguasa membakar buku-buku Ibn Hazm diantaranya adalah:
1. Kebencian Ulama Malikiyah yang menguasai masyarakat kepada Ibn Hazm
2. Kekhawatiran penguasa atas usaha Ibn Hazm mengembalikan kekuasaan kepada bani Umayyah, dan keberaniannya mengkritik pemerintah

Andalusia (Andalus) adalah nama Arab untuk jazirah Iberia yang pada masa sekarang dikenal sebagai Spanyol dan Portugis. Sebelum ditaklukkan oleh Islam, Andalusia adalah sebuah negeri yang dipimpin di bawah sistem feodal yang disponsori oleh geraja resmi Katholik Roma. Islam datang pertama kali ke Andalusia pada tahun 711 M (92 H) sebagai juru selamat untuk segenap lapisan masyarakat Eropa yang telah berabad-abad hidup dalam kegelapan. Seorang panglima perang bernama Thariq bin Ziyad diberangkatkan oleh gubernur Qayrawan, Musa bin Nushair, guna memenuhi permintaan Yulian, gubernur Tangier (sekarang Maroko), untuk menaklukkan dan membebaskan Andalusia dari raja Roderick yang memimpin dengan despotik.
Setelah ditaklukkan, mayoritas penduduk Andalusia memeluk Islam secara bebas terutama mereka yang sebelumnya selalu merasa tertindas di bawah elit penguasa Katholik Roma. Sejarah berputar arah setelah Andalusia berada di bawah kepemimpinan Islam. Cahaya ilmu dan keadilan bersinar terang dan Andalusia berubah menjadi keagungan sejarah yang tidak terbantahkan. Ilmu-ilmu saintifik dan keislaman berkembang dengan sangat pesat di negeri yang kaya sumber daya alam ini.
Salah satu dinamika penting yang patut dicatat dari kegemilangan peradaban Andalusia adalah karya para ulama di bidang kajian keislaman. Iklim intelektual di Andalusia pada saat itu sangat kondusif untuk melahirkan ulama dan ilmuwan besar. Seperti disebutkan oleh Abid al-Jabiri bahwa suasana perdebatan (jadl) kontraproduktif yang dibawa oleh ilmu kalam tidak terdapat di Andalusia, sebagaimana yang terdapat di dunia Timur Islam. Untuk mengetahui betapa produktifnya Andalusia melahirkan ilmuwan saat itu, kita bisa membacanya melalui informasi yang dibawa oleh Ibnu al-Faradhi (w. 1013 M/962 H) tepat tiga abad setelah Islam menginjakkan kaki di Andalusia. Tercatat ada 1651 ulama (dari berbagai disiplin ilmu keislaman) yang biografinya dimuat oleh al-Faradhi dalam kitabnya Tarikh Ulama al-Andalus.
Khusus dalam ranah fikih-ushul fikih Andalusia memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan kawasan Islam lainnya. Jika di Iraq sangat kental nuasa fikih rasionalnya karena pengaruh Abu Hanifah, Mesir dikenal identik dengan negeri para ahli qiyas karena pengaruh imam Syafii, maka Andalusia dikenal sebagai pusat penyebaran teori maslahah mursalah karena pengaruh besar Mazhab Maliki. Tercatat tokoh-tokoh besar Islam yang lahir di Andalusia adalah penganut mazhab Maliki, diantaranya yaitu al-Baji (1081 M/474 H), Ibnul Arabiy (w. 1148 M/543 H.), Ibnu Rusyd (w. 1198 M/595 H ) dan bapak Maqashid Syariah Imam asy-Syatibi (w. 1388 M/790 H).

Tentang penyebaran empat mazhab besar yang ada dalam sejarah Islam, sejarawan Ibnu Khaldun (w. 1405 M/808 H) dalam Muqaddimah pasal tentang “fikih” menyatakan hal berikut: “Mazhab Hanbali banyak diikuti oleh penduduk Syam dan Baghdad. Mazhab Abu Hanifah banyak dianut oleh sebagian besar penduduk Irak, India dan Cina. Mazhab Syafii diikuti oleh penduduk Mesir. Adapun Mazhab Maliki tersebar luas di daerah bagian Barat dunia Islam (Maroko dan Andalusia, Pen).
Sampai abad kelima Andalusia memang masih identik dengan Mazhab Maliki, sampai kemudian datang seorang tokoh yang bernama Ibnu Hazm mengguncang stabilitas intelektual Andalusia dengan menyebarkan fikih Mazhab Zahiri. Mazhab Zahiri (secara bahasa artinya literal) adalah mazhab yang didirikan oleh Abu Dawud az-Zahiri (w. 883 M/270 H) yang berasal dari Ashfahan, salah satu propinsi di Iran saat ini. Penulis biografi para ulama terbesar di abad modern, Abu Zahrah (w. 1974 M/1394 H) menyebutkan bahwa pada awalnya Mazhab Zahiri bersama Mazhab Hanafi, Syafii dan Maliki adalah empat mazhab besar di bagian Timur dunia Islam. Sebaliknya, Mazhab Hanbali yang di kemudian hari menjadi mazhab besar di dunia Islam, sebelum abad kelima belum begitu populer dan tidak banyak diikuti oleh kaum muslimin. Namun berkat pengaruh seorang ulama besar mazhab Hanbali Ibnu Abi Ya’la (w. 1065 M/458 H) bendera Mazhab Hanbali mulai berkibar dan menggeser posisi Mazhab Zahiri di dunia Timur (Abu Zahrah, Ibnu Hazm Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 262).
Ajaran pokok Mazhab Zahiri bertumpu pada dua hal; pertama, bahwa pemahaman terhadap nash harus berdasarkan pada makna yang zahir saja. Al-Quran dan Sunnah, menurut Mazhab Zahiri mampu menjelaskan maknanya sendiri, di mana zahir lafaz langsung menunjukkan makna yang diinginkan oleh Allah, tanpa perlu proses penggalian makna di belakang teks. Kedua, dalam masalah yang tidak ditemukan jawabannya dari nash secara eksplisit, Mazhab Zahiri menggunakan konsep yang mereka sebut dengan “dalil”, yaitu ber-istidlal dengan bersandarkan pada zahir teks pula.
Sekalipun mengikuti Mazhab Zahiri dengan beberapa ciri umum di atas, Ibnu Hazm sesungguhnya jauh melampaui literalitas Abu Dawud dalam bermazhab. Sebab apa yang ia susun jauh lebih rumit dan lebih canggih. Secara epistemologis, literalitas pada ushul fikih Ibnu Hazm adalah instrumen untuk menganulir konsep-konsep sebelumnya yang ia pandang tidak relevan untuk digunakan di ushul fikih (Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabiy, hal. 303). Seberapa besar tingkat perbedaan Ibnu Hazm dengan Abu Dawud dan seberapa besar daya dobrak Ibnu Hazm dalam ushul fikih, kita bisa menemukannya ketika kita membaca situasi ushul fikih pada periodenya.
Ushul fikih telah melalui beberapa periodesasi, di mana masing-masing periodesasi memiliki problematika tersendiri. Pada periode Imam Syafi’i, ushul fikih berhadapan dengan problem adanya pertentangan dua arus besar saat itu, yaitu ahlu al-ra’yi dan ahlu al-hadist, sehingga tugas ushuliyyun pada periode itu adalah melakukan harmonisasi di antara keduanya. Pada masa Ibnu Hazm ushul fikih telah memasuki masa yang lebih kompleks lagi sehingga apa yang diusung oleh Ibnu Hazm dalam ushul fikihnya adalah untuk mengatasi problem itu. Sebagai seorang filosof, Ibnu Hazm menyadari bahwa problem terbesar saat itu yang dihadapi ushul fikih adalah sikap prejudis (sinis) para ulama Islam terhadap produk filsafat utamanya mantiq (ilmu logika) yang datang dari peradaban Yunani. Padahal baginya ilmu logika sangat bermanfaat untuk disentesakan dengan objek material teks-teks Islam. Sikap penuh curiga terhadap pemikiran yang datang dari luar bagi Ibnu Hazm hanya akan membuat sempit ruang gerak umat Islam.
Selain problem eksklusifitas ulama Islam terhadap filsafat, ia juga menyaksikan bahwa secara internal ushul fikih khususnya yang bercorak bayani (yang bertumpu pada analisa teks dan analogi antara dua kasus yang berbeda jenisnya atau disebut qiyas al-far’ ala al-‘ashl) adalah sumber perdebatan di antara sesama ulama yang menggunakannya. Setiap ulama yang menggunakan model analogi seperti ini akan mengklaim bahwa produk fikihnya lah yang paling benar, padahal pada saat yang sama ulama yang lain juga mengeluarkan klaim seperti itu. Dengan demikian, menurut Ibnu Hazm, model analogi seperti itu hanya akan menghasilkan produk fikih yang tumpah tindih satu sama lain (Ibnu Hazm, al-Muhalla, vol. I, 120).
Problem mendasar yang juga mendorong Ibnu Hazm untuk menyusun ushul fikih ala Mazhab Zahiri adalah telah tumbuh berkembangnya epistem irfani, baik yang direpresentasikan oleh Syiah maupun oleh Sufi. Kecendrungan asal terabas, berfikir pintas dan melompat pagar tanpa mengindahkan sistem kerja metodologis dalam internal sebuah teks yang ada dalam episteme irfani telah membuat Ibnu Hazm merasakan bahaya besar model berfikir seperti ini. Di komunitas Syiah adanya keyakinan tentang “imam” telah menggiring mereka untuk mentakwilkan nash-nash agama untuk kepentingan membenarkan adanya pemimpin yang berkuasa penuh atas segala urusan umat Islam. Di komunitas Sufi, model berfikir irfani ditunjukkan oleh adanya konsep ilham dan kasyf (penyingkapan) yang didapatkan secara intuitif tanpa melalui prosedur yang jelas.
Epistem irfani yang sarat dengan kontradiksi dan kontroversi ini telah menjadi katalisator dominan bagi Ibnu Hazm untuk menyusun ushul fikih yang sepenuhnya bertumpu pada kejelasan dan kepastian. Untuk itulah ia berusaha melakukan penyusunan ulang (i’adah taksis) terhadap komponen ushul fikih dan mensintesakan cara berfikir para fukaha (bayani) dengan cara berfikir para filosof (burhani). Dari model ushul fikih bayani yang dibangun oleh Imam Syafii, ada beberapa bagian yang menurut Ibnu Hazm harus dibuang, di samping juga masih ada beberapa variabel yang tetap bisa dipertahankan. Pada model berfikir burhani Ibnu Hazm menyatakan perlunya mantiq (ilmu logika) digunakan dalam ushul fikih. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ushul fikih Ibnu Hazm merupakan hasil kombinasi dan usaha penyusunan kembali dua komponen, yaitu ushul fikih bayani (yang bertumpu pada teks) dan ushul fikih burhani (yang bertumpu pada ilmu logika).

4.     Pendukung, penyebar serta karya Ibnu Hazm
Ibnu Hazm adalah seorang penulis yang sangat produktif. Beberapa tokoh meletakkannya nomor dua dalam sejarah Islam setelah Ibnu Jarir al-Thabari (w. 923 M/310 H) dalam hal produktifitas menulis buku. Seperti dilaporkan anaknya, Abu Rafi’ al-Fadhl, karya Ibnu Hazm dalam berbagai disiplin ilmu mencapai 400 jilid atau sama dengan 800.000 lembar kertas (al-Dzahabiy, Siyar A’lam Nubala, vol. 3, hal. 325). Karya-karyanya mencakup sastra, sejarah, bahasa, fikih, ushul fikih, tafsir, hadist, filsafat dan perbandingan agama. Sebagai seorang sastrawan, ia menulis antologi syair yang berjudul Thauqul Hamamah (The Dove's Neck Ring) yang telah banyak dikupas oleh ilmuwan Barat pada abad dua puluh. Karya monumentalnya di bidang fikih adalah al-Muhalla yang di samping merupakan representasi dari fikih Mazhab Zahiri, juga menghimpun pendapat-pendapat fikih dari kalangan sahabat dan tabiin. Banyak sarjana Islam yang menyebut karya ini sebagai ensiklopedi fikih terbesar milik umat Islam. Izzudin bin Abdis Salam, faqih dari mazhab Syafii yang digelari sulthan al-ulama (penguasa para ulama) dan diakui telah mencapai derajat mutlak dalam berijtihad, ketika memberikan komentar tentang al-Muhalla mengatakan: “Aku tidak melihat dari buku-buku Islam yang lebih baik dari al-Muhalla Ibnu Hazm dan al-Mughni Ibnu Qudamah al-Muqdasi” ((al-Dzahabiy, Tadzkiratul Huffazh, vol. 3, hal. 1150).
Sebagai seorang ilmuwan Ibn Hazm meninggalkan warisan berupa buku karangan yang terhitung banyak, diantara buku karangannya adalah :
·         Al-Muhalla (المحلى): Kitab ini merupakan syarah kepada kitab Al-Mujalla (karangan beliau sendiri). Ia adalah karya agung bagi Mazhab Zahiri, dan juga rujukan utama dalam fiqh perbandingan. Ia juga adalah antara kitab Fiqh terbaik yang pernah dihasilkan oleh ulama Islam. Ia telah dipuji oleh Al-Imam Izzuddin bin Abd As-Salam, kata beliau: “Aku tidak pernah melihat pada kitab-kitab Islam dalam ilmu ini seperti Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm dan Al-Mughni oleh Syeikh Muwaffaquddin (Ibnu Qudamah)”. Kehebatan Ibnu Hazm dalam ilmu hadith juga terserlah dalam kitab ini, di mana kesemua hadith yang digunakan sebagai hujah adalah sahih dan diriwayatkan dengan sanad.
·         Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam (الإحكام في أصول الأحكام): Salah sebuah kitab penting dalam ilmu Usul Al-Fiqh.
·         Al-Fisol fi Al-Milal wa Al-Ahwaa' wa An-Nihal (الفصل في الملل والأهواء والنحل): Salah satu kitab rujukan dalam ilmu perbandingan agama.
·         At-Taqrib li Hadd Al-Mantiq bi Al-Alfaz Al-Aammiyyah wa Al-Amthilah Al-Fiqhiyyah (التقريب لحد المنطق بالألفاظ العامة والأمثلة الفقهية): Kitab ini merepresentasikan kehebatan Ibnu Hazm dalam ilmu mantiq. Beliau yang meyakini faedah belajar ilmu mantiq mencoba mengenalkan ilmu ini kepada publik dengan menggunakan bahasa penuturan biasa dan contoh-contoh diambil dari ilmu fiqh. Walaupun beliau telah dikritik atas tindakannya ini karena konon menyalahi Aristoteles dan menunjukkan ketiak matangannya dalam ilmu ini, namun tidaklah mustahil jika Ibnu Hazm sebenarnya ada tujuan yang tersendiri dibalik itu. Kemungkinan besar beliau menjadikan hujjah-hujjah logis dalam ilmu mantiq sebagai alternatif qiyas yang telah divonis menyalahi aturan oleh beliau.
·         Towq Al-Hamamah (طوق الحمامة): Kitab ini memperlihatkan kehebatan Ibnu Hazm dalam ilmu psikologi, terutama yang berkaitan dengan cinta dan kasih sayang. Di antara bab yang menarik dalam kitab ini ialah: “Bab Tanda-tanda Cinta”, di mana beliau telah menyebutkan 19 tanda bagi orang yang jatuh cinta dan yang sedang bercinta. Beliau juga tidak canggung menceritakan “kisah cintanya” sendiri di zaman remajanya.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa ibn Hazm adalah seorang pakar dibidangnya, hal tersebut dapat kita lihat dari komentar beberapa tokoh, diantaranya:
·         Abu Hamid Al-Ghazali: ”Saya melihat buku-buku karangan Ibn Hazm, semuanya menunjukkan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya”.
·         Al-hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Futuh Al-Humaidi: ”Saya tidak pernah melihat sosok seperti ibn Hazm yang memiliki kecerdasan, kekuatan hafalan, kemuliaan dan keteguhan menjalankan agama”.
·         Izzu Al-Din bin Abd Salam: ”Saya tidak pernah melihat dalam buku-buku keislaman yang sebanding dengan Al-Muhalla karangan Ibn Hazm”.
·         Menurut Muhammad Zahro, Ibn Hazm mempunyai talenta yang membentuknya menjadi ulama besar, ditambah kemampuan hafalannya yang sangat luar biasa, disamping hafal hadis-hadis Nabi, Ibn Hazm juga hafal diluar kepala fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Ibn Hazm bukan hanya sekedar menghafal apa yang dia pelajari tapi dia juga mempunyai ketajaman analisa, sehingga dalam beberapa tulisannya nampak bagaimana Ibn Hazm dalam menyelami masalah yang dibahasnya hingga ke dasar, sebagaimana dalam kitab ”al-milal wa al-nihal” , juga dalam kitab ”thuqu al-hamamah” yang membahas manusia dari sisi kejiwaan.

Struktur Ushul Fikih Ibnu Hazm
Dalam hirarki ulama-ulama fikih, Ibnu Hazm layak dikategorikan ke dalam varian mujtahid mutlaq, sama seperti empat imam mazhab besar. Selain karena faktor sumbangsih Ibnu Hazm terhadap metode ijtihad Mazhab Zahiri (yang jauh melampaui Abu Dawud), dalam Mazhab Zahiri memang tidak dikenal istilah mujtahid muntasib atau mujtahid fi al-mazhab. Hal itu dikarenakan secara tegas mereka menolak taklid dan tidak menyebut diri pengikut mazhab tertentu, sekalipun mereka mengidentifikasi diri dengan Mazhab Zahiri. Masing-masing dari penganut Mazhab Zahiri dalam merumuskan sebuah hukum selalu berijtihad langsung dari al-Quran dan Sunnah Nabi dan satu sama lain tidak saling ‘mencontek’ pendapat. Secara kebetulan mereka memang memiliki kesamaan pandangan dalam metodologi, namun kesamaan tersebut tidak berlaku dalam masalah hukum fikih, sehingga otomatis seluruh pengikut Mazhab Zahiri adalah mujtahid mutlak (Abu Zahrah, Ibnu Hazm Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 275). Ibnu Hazm membangun ushul fikihnya di atas empat sumber, yaitu al-Quran, Sunnah Nabi, Ijmak (Konsensus) dan Dalil (Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, vol. I, hal. 86).
Al-Quran, seperti dipahami Ibnu Hazm, bertingkat-tingkat aspek kejelasan (bayyin) nya (al-Ihkam, hal. 95). Ada ayat-ayat yang tidak membutuhkan keterangan ayat lain karena kandungannya yang sudah sangat terang benderang, seperti ayat-ayat tentang warisan untuk anak dan untuk suami atau istri, ayat tentang li’an (sumpah bagi tuduhan zina yang tidak berdasarkan bukti) dan ayat tentang hukuman bagi orang yang membuat tuduhan zina yang tidak terbukti (haddu al-qadzfi). Ada pula ayat-ayat yang membutuhkan keterangan dari ayat lain karena bersifat mujmal (global), seperti ayat tentang thalaq (perceraian), zawaj (pernikahan) dan iddah (masa menunggu bagi mantan istri).  Selain itu, penjelas (mubayyin) bagi ayat al-Quran berbeda-beda tingkat kejelasannya, sehingga tidak mustahil menurutnya pemahaman para mujtahid akan berbeda-beda pula satu sama lainnya. Secara umum, Ibnu Hazm mengkategorikan mubayyin ayat-ayat al-Quran menjadi dua macam; pertama, takhsis (pengkhususan) ayat khusus terhadap ayat yang umum. Kedua, naskh (penghampusan hukum) ayat yang telah lebih dahulu turunnya. Namun, titik perbedaan antara Ibnu Hazm dari ulama lainnya adalah ia tidak memasukkan tafhsil (perincian) dan taqyid (pengikatan makna) dalam kategori mubayyin (Abu Zahrah, Ibnu Hazm, hal, 283).
Pandangan Ibnu Hazm mengenai Sunnah sama dengan pandangan Imam Syafii, pendiri ilmu ushul fikih. Bagi dua tokoh ini, al-Quran dan Sunnah adalah nushus (teks-teks) yang satu sama lain saling melengkapi. Ibnu Hazm meletakkan sunnah sejajar dengan al-Quran karena keduanya sama-sama berasal dari Allah Swt. (wahyu). Bedanya adalah al-Quran memiliki aspek i’jaz  sedangkan Sunnah tidak. Ibnu Hazm membagi Sunnah menjadi tiga tingkatan, yaitu qaul (perkataan), fi’il (perbuatan) dan taqrir (ketetapan) nabi Muhammad Saw.. Sunnah yang bisa menunjukkan hukum wajib (yufidul wujub) hanyalah Sunnah Qauliyah. Adapun perbuatan nabi, dianggap tidak menunjukkan kewajiban kecuali jika ada perkataan nabi yang mengiringinya, seperti sabda nabi tentang cara salat; صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي  (salatlah kamu sebagai mana kamu sekalian melihatku salat). Sementara taqrir nabi hanya bisa menunjukkan aspek ibahah (kebolehan) satu perbuatan saja, tidak bisa mewajibkan, mensunnahkan dan melarang sesuatu. Ibnu Hazm membagi sunnah dari segi banyaknya perawi ke dalam dua jenis; mutawatir dan ahad.
Hadist mutawatir yang diriwayatkan oleh banyak orang menurut nya adalah hujjah qathiyyah. Namun makna tawatur dalam perspektif Ibnu Hazm berbeda dengan jumhur ulama. Hadist bisa mencapai derajat mutawatir walaupun hanya diriwayatkan dua orang perawi saja, dengan syarat sudah mustahil untuk terjadi kesepakatan untuk berbohong di antara mereka. Jika satu orang yang berasal dari satu tempat meriwayatkan hadist, kemudian ada orang lain dari negeri yang jauh dari negeri orang pertama juga meriwayatkan hadist yang sama, dan mereka berdua tidak pernah sama sekali bertemu, bagi Ibnu Hazm hadis ini sudah masuk kategori mutawatir berdasarkan aksiomatika akal (badahiyyatul aql).
Mengenai hadist ahad, Ibnu Hazm juga berbeda dengan mayoritas ulama. Sifat ahad bisa saja dilekatkan pada hadis yang diriwayatkan orang dalam jumlah banyak namun masih berpotensi untuk terjadi kebohongan di antara mereka. Dengan demikian, mutawatir dan ahad dalam definisi Ibnu Hazm memang tidak mengacu pada kuantitas perawi, tapi pada kemungkinan terjadi kebohongan di antara mereka. Mengenai hujjiyah hadist ahad, Ibnu Hazm berada di barisan jumhur ulama yang menyatakan bahwa hadis dengan kategori ini bisa diterima, baik dalam masalah fikih ataupun akidah. Selain itu, dalam Sunnah, Ibnu Hazm tidak menerima hadis yang sanad-nya tidak bersambung, seperti hadis mursal yang tidak menyebutkan nama perawi dari tingkatan sahabat, kecuali jika ada musawwigh (pembenar) untuk menerimanya. Contohnya adalah hadis tentang terbelahnya bulan di zaman nabi yang dikuatkan kebenarannya oleh ayat al-Quran (QS. 54:1) (Ibnu Hazm, al-Ihkam, hal. 228).
Ibnu Hazm menolak adanya ta’arudh nushus (kontradiksi antara teks) seperti dipercayai oleh banyak ulama. Baginya antara teks al-Quran dan Sunnah adalah satu paket wahyu ilahi yang satu sama lain saling membantu dan menguatkan dalam menjelaskan hukum-hukum syar’i (Ibnu Hazm, al-Ihkam, hal. 199). Sebagai konsekwensi dari penolakan terhadap ta’arudh, Ibnu Hazm juga menolak tarjih (memilih salah satu), karena semua dalil yang tampak bertentangan tersebut sesungguhnya bisa dikompromikan. Cara mengkompromikan dalil-dalil tersebut ada beberapa hal, diantaranya adalah dengan takhsis (pengkhususan). Dari dua dalil yang secara zahir bertentangan salah satunya bisa jadi adalah dalil yang khusus sedangkan yang lain dalil umum. Seperti dalam kasus larangan nabi bagi orang yang berhaji untuk tidak meninggalkan masjidil haram sebelum ritual haji selesai, yaitu dengan melakukan tawaf wada’. Namun pada kesempatan yang lain nabi pernah mengizinkan wanita haid untuk pulang. Berhadapan dua kasus tersebut, bisa dikatakan bahwa wanita haid adalah pengecualian (pengkhususan) dari larangan umum yang berlaku bagi yang lain.
Cara lain untuk menghindari pertentangan antar nash menurut Ibnu Hazm adalah dengan mengingkari mafhum mukhalaf. Bagi ulama yang mempercayai mafhum mukhlafah, maka ayat “إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى yang merupakan perintah umum untuk berbuat baik kepada siapa saja, akan bertentangan dengan ayat khusus yang berbunyi وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا yang secara khusus menyuruh perintah berbuat baik terhadap orang tua. Jika ayat kedua ini di-mafhum mukhalafah-kan, maka akan bermakna; “selain kepada orang tua, janganlah berbuat baik”. Untuk menghindari pertentangan seperti itu, Ibnu Hazm menolak dengan tegas mafhum mukhlafah.
Sumber hukum ketiga yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Hazm adalah ijmak. Ijmak oleh Ibnu Hazm didefinisikan sebagai kesepakatan mengenai suatu hukum yang diterima secara turun temurun oleh umat Islam dari generasi ke generasi. Apa yang membuat Ibnu Hazm berbeda dengan kebanyakan ulama adalah ia hanya mengakui ijmak yang bersandarkan langsung pada nash (teks) agama. Pandangan ini serupa dengan Imam Syafi’i dan belakangan akan diikuti juga oleh Ibnu Taimiyah. Ijmak yang didasarkan pada qiyas ditolak oleh Ibnu Hazm, karena baginya qiyas sebagai metode untuk menemukan kausa (illah) dalam sebuah nash sangatlah relatif, sehingga tidak jarang ditemukan produk hukum dari metode ini yang tumpang tindih satu sama lainnya. Karena menolak kesepakatan hukum yang tidak berdasarkan nash, implikasinya adalah definisi ijmak Ibnu Hazm menyempit hanya pada hal-hal yang diketahui oleh Rasulullah dan sudah jelas-jelas diberitakan oleh agama (ma ‘ulima min al-din bi al-darurah) seperti tentang masalah keimanan, pokok-pokok ibadah salat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. Ijmak yang tidak diketahui oleh Rasulullah atau dengan kata lain selain ijmak para sahabat dianggap tidak sah (al-Ihkam, hal. 547). Ijmak di antara para sahabat sendiripun menurutnya tidak mungkin terjadi lagi setelah Rasulullah wafat, sebab mereka telah berpencar ke wilayah-wilayah Islam yang sangat luas dan mustahil sekali untuk dikumpulkan.
Ulama Islam menurut Ibnu Hazm harus berhati-hati mengatakan telah ada ijmak sahabat setelah Rasulullah wafat, sebab sesuatu yang sudah disepakati secara bulat (ijmak) harus ditaati dan bagi siapa saja yang berbeda pendapat dihukumi kafir. Ibnu Hazm misalnya membantah klaim bahwa para sahabat telah ber-ijmak tentang putusan Umar bin Khatab mencambuk (ta’zir) 80 kali bagi peminum khamar pada masanya (al-Ihkam, 559). Implikasi logis dari penolakan Ibnu Hazm terhadap ijmak selain ijmak sahabat di zaman nabi adalah penolakannya terhadap ijmak ahlul madinah (penduduk Madinah). Dikatakannya bahwa konsep ini sama sekali tidak memiliki dasar, dan sesungguhnya baru dimunculkan oleh Mazhab Maliki untuk membenarkan taklid terhadap Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukum (al-Ihkam, hal. 595).
Dasar keempat dari ushul fikih Ibnu Hazm adalah “dalil”. Mengenai definisi dalil ini, Ibnu Hazm mengatakan bahwa banyak orang telah salah faham dengan menyamakan dalil dengan qiyas, sehingga Mazhab Zahiri dianggap tidak konsisten (al-Ihkam, hal. 714). Padahal antara qiyas dengan dalil ada jarak yang sangat jauh, di mana qiyas adalah usaha menganalogikan dua kasus fikih melalui kesamaan kausa (illah), sedangkan dalil adalah model ijtihad yang menderivasi hukum langsung dari nash al-Quran maupun ijmak dan tidak menggunakan instrumen analogi. Jika ditelisik struktur apa yang disebut dalil dalam mazhab zahiri sebenarnya tak lain adalah qiyas Aristoteles atau disebut juga silogisme (Abid al-Jabiri, Binyah al-Aql Arabiy, hal. 526). Silogisme sendiri adalah produk ilmu logika (mantiq) yang datang dari peradaban non-Islam. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Hazm termasuk ulama yang gigih dan paling berani memperjuangkan penggunaan mantiq dalam ilmu-ilmu keislaman.
Dalam silogisme terdapat dua premis (mukadimah), yaitu mayor (kubra) dan minor (sughra). Dua premis itu kedua-duanya bisa datang dari nash, seperti premis yang diambil dari hadis nabi: setiap yang memabukkan adalah khamr (mayor) dan setiap yang khamar itu haram (minor). Dari penggunaan silogisme ini, bisa dihasilkan satu kesimpulan hukum (natijah, conclusion) berupa “setiap yang memabukkan adalah haram”. Haramnya narkoba di zaman sekarang misalnya memang tidak disebutkan di batang tubuh teks hadis tersebut, tetapi merupakan lazimah (akibat langsung) yang didapatkan secara aksiomatis dari hadis nabi di atas.
Selain kedua premis itu bisa semuanya nash, bisa pula salah satunya nash, sementara satunya lagi aksiomatika akal (badahiyyatu aql). Contohnya: premis minor yang berupa ayat al-Quran yang berbunyi وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ (kedua orang tua mayit mewarisi harta si mayit dan ibu mendapat jatah sepertiga). Sedangkan premis mayornya adalah aksiomatika akal bahwa satu adalah gabungan dari sepertiga dan dua pertiga. Maka dari kesimpulan silogisme dua premis itu adalah “ayah akan mendapatkan jatah dua pertiga jika ahli warisnya hanya ada ayah dan ibu” (al-Ihkam, hal. 83). Pada dasarnya bisa disimpulkan bahwa qiyas yang ditolak Ibnu Hazm adalah qiyas bayani yang bersifat asumtif dan berdiri di atas dua bagian (al-ashl dan al-far’) yang satu sama lain independen (infishal). Sementara qiyas yang diterima oleh Ibnu Hazm adalah qiyas yang tidak memisahkan dua perkara ke dalam jenis-jenis yang parsial, yaitu yang terdapat dalam metode silogisme Aristoteles.
Perbedaan yang sangat esensial antara Ibnu Hazm dengan jumhur (mayoritas) ulama adalah dalam masalah ta’lil al-ahkam, yaitu bahwa segala hukum memiliki memiliki kausa (illah) nya sehingga bisa digeneralisir kepada kasus lain yang memiliki kesamaan kausa. Bagi kebanyakan ulama, kausa adalah ciri pokok dari setiap kasus fikih. Dengan demikian, mencari kausa dari ayat al-Quran sangatlah penting, karena sifat al-Quran dan Sunnah yang terbatas jumlahnya (mutanahi), sementara realitas tidak terbatas dan terus berkembang (ghairu mutanahi). Sesuatu yang bersifat terbatas tidak bisa menjawab secara langsung entitas lain yang tidak terbatas, jika tidak menggunakan tehnik ta’lilu al-ahkam. Oleh karena itu, jika ingin tetap konsisten menjadikan syariah Islam sebagai pegangan hidup maka sudah barang tentu diperlukan qiyas. Contohnya adalah dalam kasus haramnya khamr. Para ulama melakukan kajian induktif tentang apa yang membuat khamr menjadi haram, sehingga barang lain yang memiliki kesamaan sifat dengan khamr dapat pula dikategorikan haram. Namun tidak demikian dengan Mazhab Zahiriyah. Mereka memang menyatakan bahwa di balik setiap nash ada kemaslahatan bagi manusia. Namun setiap nash tidak bisa melampaui bentuk zahirnya sendiri, sehingga mencari illah yang tersembunyi di belakangnya adalah usaha yang dianggap melanggar batas.
Mencari illah sebuah hukum menurut Ibnu Hazm sama artinya mempertanyakan untuk apa Allah melakukan satu perbuatan. Dalam al-Quran sudah disebutkan bahwa Allah tidak bisa ditanya dan manusialah yang akan ditanya (QS. 21:23). Di sini sesungguhnya Ibnu Hazm melakukan kesalahpahaman, sebab mencari illah bukanlah mempertanyakan keputusan Allah tentang suatu perkara, melainkan hanya mencari sifat dalam suatu hukum yang relevan untuk diterapkan pada kasus lain.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peran kota Andalusia dalam mengisi masa keemasan islam tidak bisa diremehkan. Dikota inilah banyak lahir manusia-manusia yang kelak menjadi imam dalam keilmuan islam. Hadirnya Ibnu Hazm tidak hanya melengkapi deretan daftar nama-nama ‘Ulama islam, akan tetapi juga ikut berperan aktif mewarnai corak mazhab islam. Ketekunan beliau dalam belajar, semangat beliau dalam menyelami agama, kegigihan beliau memperjuangkan keyakinannya patut kita teladani dan jadikan ibroh dalam membangun konstruksi islam yang rahmatan lil ‘alamin.



  




DAFTAR PUSTAKA

  1. Khalid, Anwar. Zahiriyah Ibnu Hazm Nazhariyah al Ma’rifah wa Manhiju al Bahts.
  2. Khallaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh. (Jakarta : DDII, 1972).
  3. Muhammad, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Cairo, mathba-ah al-Madani.
  4. Madkour, Dr. Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat. (Jakarta : Bumi Aksara, 1995).
  5. Ibn Hazm, Abu Mahammad Ali bin Ahmad, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Cairo, Maktabah Saadah, cet I, 1347H.
  6. Jabiri, Abid al-. Binyah al-Aql al-Arabiy.
  7. Khaldun, Ibnu. Muqaddimah.
  8. http://poltik91.blogspot.com/2013/05/makalh-ibnu-hazm-politik.html
  9. http://m-rofiqmuzakkir.blogspot.com/2011/12/ushul-fikih-di-andalusia-biografi-dan.html
  10. http://ghanie-np.blogspot.com/2011/03/biografi-dan-pemikiran-ibn-hazm-dan.html

Previous
« Prev Post

Related Posts

02.10

0 komentar: