BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Cordoba
Spanyol pernah menjadi kota metropolitan yang melahirkan banyak pemikir-pemikir
besar seperti Ibn Rusyd, Ibn Abd al-Barr, Ibn Bajah, Daud al-Asbihani, Ibn Ali
Ibn Hazm dan lain sebagainya. Menurut Atho’ Mudzhar, ketika itu di cordoba
telah memiliki lebih dari tujuh puluh perpustakaan yang dapat menjadi tempat
rujukan dalam penelitian. Disamping itu adanya dukungan penguasa menjadi hal
yang penting, dengan mendatangkan ulama-ulama dan kitab-kitab dari timur, sebut
saja Abdurrahman al-nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun, sehingga dunia
keilmuan menjadi lebih hidup.
Keadaan
dan suasana keilmuan pada masa itu mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm.
Ketika itu, perpustakaan dan universitas di Cordoba berkembang dengan pesat.
Sementara itu, Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu
Yunani, baik filsafat, matematika, ataupun kedokteran. Dengan demikian, kondisi
ini memungkinkan Ibnu Hazm untuk memperdalam pengetahuannya di berbagai
disiplin ilmu dan membentuk kerangka berpikir yang komprehensif.
Ibnu
Hazm merupakan ulama besar, pakar fiqh, ushûl fiqh, ahli hadîts, dan ahli
teologi. Ia adalah pengembang madzhab Dhâhiri, bahkan dinilai sebagai pendiri
kedua madzhab Dhâhiri.
Ibn
Hazm termasuk diantara mereka yang mempunyai pendapat-pendapat yang dianggap
berbeda, sebut saja pendapat tentang qashar dalam sholat, melihat seluruh
anggota tubuh wanita ketika meminang, memegang al-Qur’an dibolehkan bagi orang
yang berhadas besar dan lain sebagainya.
Produk
hukum fikih tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi saat dan di mana hukum
itu lahir. Gejolak politik, latar belakang pendidikan, situasi keamanan sangat
berpengaruh terhadap corak hukum fikih. Dalam makalah ini akan dibahas latar
belakang pendidikan, situasi politik dan tokoh-tokoh yang semasa dengan Ibnu
Hazm.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa
latar belakang pendidikan Ibnu Hazm?
b.
Bagaimana
situasi politik pada masa Ibnu Hazm?
c.
Seperti
apa nalar pemikiran pada masa Ibnu Hazm?
d.
Siapa
saja pendukung dan penyebar pemikiran Ibnu Hazm?
3.
Tujuan Pembahasan
a.
Mengetahui
riwayat pendidikan Ibnu Hazm
b.
Mengetahui
kondisi politik pada masa Ibnu Hazm
c.
Mengetahui
model pemikiran tokoh-tokoh pada zaman Ibnu Hazm
d.
Memetakan
lokasi penyebaran pemikiran Ibnu Hazm
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Ibnu Hazm (384-456 H/994-1064 M)
a.
Kelahiran Ibnu Hazm
Nama
lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn
Ghâlib ibn Khalaf ibn Sa’d ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur
kitab-kitab klasik ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Dilahirkan di Kordoba,
Spanyol pada akhir Ramadlān 384 H/ 7
Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat
berkecukupan. Ayahnya adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah
al-Mansûr dan puteranya, al-Mudzaffar, khalifah Bani Umayyah di Andalusia.
Secara
garis keturunan, keluarga Hazm sebenarnya berasal dari Persia. Namun loyalitas
utamanya diberikan kepada Bani Umayah. Sama seperti ayahnya, beberapa kali ia
diserahi jabatan menteri oleh penguasa Andalusia. Dengan demikian selain sebagai
seorang ulama, Ibnu Hazm juga memiliki kepiawaian dalam berpolitik. Tak jarang
pula karena faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi berdarah
karena membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi khalifah.
Karena sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan bahkan pernah
diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Di kemudian hari setelah ia menyadari bahwa
keterlibatannya di bidang politik praktis hanya akan menghasilkan kenihilan, ia
merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
b.
Pendidikan Ibnu Hazm
Pada
masa kecilnya, ia dibimbing dan dididik oleh guru-gurunya tentang al-Qur’ân,
sya’ir Arab, dan kaligrafi. Menginjak masa remaja, Ibnu Hazm mulai mempelajari
fiqh dan hadîts dari gurunya yang bernama Husain bin Ali al-Farisi dan Ahmad
bin Muhammad bin Jasur. Ketika dewasa, ia baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya,
seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantiq, ilmu jiwa, di samping ia juga
memperdalam fiqh dan hadîts.
Pada
usia dewasa inilah, Ibnu Hazm mengarahkan pendidikannya ke majlis taklim di
masjid-masjid Cordoba. Di sana ia mulai berdialog dengan guru dan pakar ilmu
agama. Beberapa di antara gurunya di bidang hadîts, bahasa, logika, dan teologi
adalah Yahyâ bin Mas’ûd bin Wajah al-Jannah dan Abu al-Qâsim Abdurrahman bin
Abi Yazîd al-Azdi. Di bidang fiqh dan peradilan, ia belajar dari al-Khiyâr
al-Lughawi. Guru khusus di bidang fiqh adalah Abi Amr Ahmad bin al-Husain,
Yûsuf bin Abdullâh (Hakim Cordoba), Abdullâh bin Rabî’ al-Tamîmi, dan Abi Amr
al-Tamanki.
Dalam
ranah fikih, sebelum memilih untuk menganut mazhab Zahiri, Ibnu Hazm adalah
seorang pengikut mazhab Maliki, sebab mazhab ini adalah mazhab resmi yang
dipakai di Andalusia dan Afrika Utara saat itu. Ketika masih mengikuti mazhab
ini kecenderungan untuk tidak terbelenggu dengan ikatan mazhab sesungguhnya
sudah ada pada dirinya, sehingga wajar di kemudian hari ia memutuskan keluar
dari Mazhab Maliki dan pindah ke Mazhab Syafii. Faktor yang membuatnya tertarik
dan terkagum-kagum pada mazhab ini adalah keberpihakan dan penguasaan Syafii
terhadap nash, penolakan terhadap konsep istihsan dan maslahah mursalah. Hanya
bertahan beberapa saat di Mazhab Syafii ia memutuskan untuk hengkang. Ia merasa
tidak puas karena mazhab ini masih menggunakan qiyas yang merupakan instrumen
dari ijtihad bil ra’yi yang sangat ia kecam. Ia akhirnya memutuskan menarik
diri dari Mazhab Syafii dan memilih Mazhab Zahiri yang didirikan oleh Abu Dawud
(w. 883 M/270 H) dari Ashfahan (340 km di selatan Teheran Ibu kota Iran).
Alasan utama ia memilih mazhab ini adalah kesamaan platform dalam berijtihad.
Keadaan
dan suasana keilmuan pada masa itu mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm.
Ketika itu, perpustakaan dan universitas di Cordoba berkembang dengan pesat.
Sementara itu, Toledo (Spanyol) menjadi pusat kegiatan penerjemahan ilmu-ilmu
Yunani, baik filsafat, matematika, ataupun kedokteran. Dengan demikian, kondisi
ini memungkinkan Ibnu Hazm untuk memperdalam pengetahuannya di berbagai disiplin
ilmu dan membentuk kerangka berpikir yang komprehensif.
Tidak
mengherankan, jika Ibn Hazm menjadi seorang pemikir yang tersohor di seantero
dunia. Kitab–kitab buah pemikiran Ibn Hazm banyak menjadi rujukan kaum
intelektual, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Hal ini mengingat
keadaan dan suasana keilmuan pada masa itu sangat mendukung kemajuan
intelektual.
Kepindahan
Ibn Hazm ke madzhab dhahiri didukung oleh kondisi yang ada pada abad III H.
Banyak Ulama Cordoba yang belajar ke timur seperti Baghdad yang menjadi pusat
dinasti Abbasiah. Diantara Ulama Cordoba yang belajar ke Baghdad adalah Baqqu
bin Mukhalid, Abu Abdullah bin Wahbah Bazbazi dan Qasim bin Asbagh bin Muhammad
bin Yusuf. Mereka tertarik kepada madzhab dhahiri setelah tidak puas dengan
madzhab yang mereka pelajari dari fiqih Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali,
ketertarikan mereka adalah karena madhab Dhahiri hanya terikat kepada Al-Qur’an
dan al-Sunnah, ditangan merekalah madzhab dhahiri berkembang di Andalusia. Hal
lain yang mendorong Ibn Hazm adalah kondisi andalusia kala itu yang mencapai
puncak keilmuan, pada saat itu lahir ulama-ulama terkenal yang luas ilmunya
dalam segala disiplin ilmu seperti Ibn Abd Barr. Disamping ilmu-ilmu keislaman
Andalusia terkenal dengan ilmu-ilmu filsafat yang melahirkan filasof-filosof
muslim seperti Ibn Rusyd dan Ibn Bajah. Kondisi tersebut didukung juga oleh
penguasa kala itu, Abdurrahman al-Nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun. Dia
mendatangkan ulama-ulama timur, membangun perpustakaan dan mendatangkan
kitab-kitab yang berkembang di timur.
Diantara
guru-guru Ibn Hazm yang mewarnai pemikirannya adalah: Ibn Abd Barr al-maliki,
Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya bin Mas’ud, Abu Al-khiyar Mas’ud bin Sulaiman
Al-dhahiri, Yunus bin Abdullah Al-Qadhi, Muhammad bin Said bin Sa’i, Abdullah
bin Al-Rabi’ Al-Tamimi, Abdullah bin Yusuf bin Nami. Ibn hazm juga memepunyai
beberapa murid setia yang menyebarkan pendapat-pendapatnya, diantara mereka
adalah : Abu Abdullah Al-Humaidi, Suraih bin Muhammad bin Suraih Al-Muqbiri,
Abu Rafi’, Abu Usamah Ya’qub, Abu Sulaiman Al-Mus’ib, Imam Abu Muhammad bin
Al-Maqribi.
2.
Atmosfir Politik Masa Ibnu Hazm
Sebagai anak dari seorang menteri, Ibnu Hazm mulai
berkenalan dengan dunia politik ketika berusia lima tahun. Pada saat itu
suasana politik di Andalus sangat tidak stabil, dimana pemberontakan terjadi
berulang-ulang. Perebutan kekuasaan Al-Mansur dan Hikam II (sebelum Al-Mansur)
berujung pada perpecahan intern pada umat Islam yang nanti di kemudian hari
setelah semakin mengental akan menjadi faktor fundamental jatuhnya Andalusia ke
tangan raja Kristen Alvonso VI pada tahun 1072 M.
Keterlibatan Ibnu Hazm didunia politik
secara langsung terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman V
Al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hisyam III Al-Mu’tamid (1027-1031). Pada
masa kedua khalifah ini, Ibnu Hazm menduduki jabatan menteri. Pada masa
pemerinahan Abdurrahman V, Ibnu Hazm bersama-sama dengan khalifah berusaha
memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut wilayah Granada di Spanyol
dari tangan musuh. Akan tetapi dalam usaha merebut wilayah itu khalifah
terbunuh dan Ibnu Hazm tertangkap. Kemudian ia dipenjarakan.
Dikarenakan faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi berdarah karena
membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi khalifah. Karena
sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan diasingkan dari Cordoba ke Sevilla. Dikemudian hari setelah ia menyadari
bahwa keterlibatanya dibidang politik praktis hanya akan menghasilkan kenihilan
, ia merubah haluan dan mengabdikan hidupnya hanya untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
3.
Situasi Pemikiran Masa Ibnu Hazm
Kondisi
sosial keagamaan di Andalusia yang multikultural telah menjadi faktor penting
bagi lahirnya perhatian Ibnu Hazm terhadap perbandingan agama. Andalusia saat
itu adalah negeri yang didiami oleh berbagai macam suku, budaya, ras dan agama.
Andalusia dihuni oleh umat Islam, Yahudi dan Kristen. Komunitas Yahudi relatif
tidak memberikan gangguan politik karena mereka merasa bahwa Islam telah
berjasa dengan menyelamatkan mereka dari persekusi Kaum Kristen yang terus
memuncak sebelum Islam datang. Penganut agama Kristen lah yang memberikan
ancaman politik bagi Islam di Andalusia karena kekuasaan direbut dari tangan
mereka. Secara teologis, pertemuan tiga agama ini tak pelak lagi telah
melahirkan banyak benturan pemikiran. Ibnu Hazm mengambil langkah cerdas dengan
menyusun kitab yang menjelaskan tentang seluk-beluk agama-agama di Andalusia,
di antaranya adalah kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal
(Penjelasan Rinci Mengenai Agama, Klenik dan Sekte) dan “Izhar Tabdil al-Yahud
wa al-Nashara wa Bayanu Tanaqudh ma Biaydihim min Dzalika min ma la Yahtamilut
Takwil” (Penjelasan tentang Distorsi Orang-orang Yahudi dan Kristen dan
Kontradiksi di antara Mereka yang Sudah Sangat Terang).
Pada
Mulanya Ibn Hazm terjun di dunia politik, namun perjalanan politik yang
dilaluinya tidak sesuai dengan ide-ide yang diharapkannya, politik cenderung
berorientasi kepada kekuasaan dan nafsu, sedangkan Ibn Hazm adalah seorang ilmuan yang ikhlas dan
jujur sehingga Ibn Hazm keluar dari dunia politik dan menekuni bidang ilmiah
membaca mengajar dan menulis. Ibn Hazm selalu mengembangkan pendapatnya dimana
saja dia berada, di Valencia, Kairawan, Cordoba dan lain-lain. Namun setelah penguasa
Valencia (Ahmad bin Rasyid) meninggal, pengaruh Ibn Hazm mulai melemah.
Lawan-lawannya mulai menggunakan kekuasaan untuk mengucilkan Ibn Hazm dari
masyarakat, bahkan di Asbelia Ibn Hazm menerima siksaan dari penguasa
al-Mu’tamid Ibn Ibad dan buku-bukunya dibakar. Hal tersebut memaksa Ibn Hazm
kembali mudik ke kampung halamannya dan memusatkan perhatiannya penuh pada
bidang keilmuan. Menurut Hasbi Ash-Shidiqi, motif penguasa membakar buku-buku Ibn
Hazm diantaranya adalah:
1. Kebencian Ulama Malikiyah yang menguasai masyarakat kepada Ibn
Hazm
2. Kekhawatiran penguasa atas usaha Ibn Hazm mengembalikan
kekuasaan kepada bani Umayyah, dan keberaniannya mengkritik pemerintah
Andalusia
(Andalus) adalah nama Arab untuk jazirah Iberia yang pada masa sekarang dikenal
sebagai Spanyol dan Portugis. Sebelum ditaklukkan oleh Islam, Andalusia adalah
sebuah negeri yang dipimpin di bawah sistem feodal yang disponsori oleh geraja
resmi Katholik Roma. Islam datang pertama kali ke Andalusia pada tahun 711 M
(92 H) sebagai juru selamat untuk segenap lapisan masyarakat Eropa yang telah
berabad-abad hidup dalam kegelapan. Seorang panglima perang bernama Thariq bin
Ziyad diberangkatkan oleh gubernur Qayrawan, Musa bin Nushair, guna memenuhi
permintaan Yulian, gubernur Tangier (sekarang Maroko), untuk menaklukkan dan
membebaskan Andalusia dari raja Roderick yang memimpin dengan despotik.
Setelah
ditaklukkan, mayoritas penduduk Andalusia memeluk Islam secara bebas terutama
mereka yang sebelumnya selalu merasa tertindas di bawah elit penguasa Katholik
Roma. Sejarah berputar arah setelah Andalusia berada di bawah kepemimpinan
Islam. Cahaya ilmu dan keadilan bersinar terang dan Andalusia berubah menjadi
keagungan sejarah yang tidak terbantahkan. Ilmu-ilmu saintifik dan keislaman
berkembang dengan sangat pesat di negeri yang kaya sumber daya alam ini.
Salah
satu dinamika penting yang patut dicatat dari kegemilangan peradaban Andalusia
adalah karya para ulama di bidang kajian keislaman. Iklim intelektual di
Andalusia pada saat itu sangat kondusif untuk melahirkan ulama dan ilmuwan
besar. Seperti disebutkan oleh Abid al-Jabiri bahwa suasana perdebatan (jadl)
kontraproduktif yang dibawa oleh ilmu kalam tidak terdapat di Andalusia,
sebagaimana yang terdapat di dunia Timur Islam. Untuk mengetahui betapa
produktifnya Andalusia melahirkan ilmuwan saat itu, kita bisa membacanya
melalui informasi yang dibawa oleh Ibnu al-Faradhi (w. 1013 M/962 H) tepat tiga
abad setelah Islam menginjakkan kaki di Andalusia. Tercatat ada 1651 ulama
(dari berbagai disiplin ilmu keislaman) yang biografinya dimuat oleh al-Faradhi
dalam kitabnya Tarikh Ulama al-Andalus.
Khusus
dalam ranah fikih-ushul fikih Andalusia memiliki kekhasan tersendiri
dibandingkan kawasan Islam lainnya. Jika di Iraq sangat kental nuasa fikih
rasionalnya karena pengaruh Abu Hanifah, Mesir dikenal identik dengan negeri
para ahli qiyas karena pengaruh imam Syafii, maka Andalusia dikenal sebagai
pusat penyebaran teori maslahah mursalah karena pengaruh besar Mazhab Maliki.
Tercatat tokoh-tokoh besar Islam yang lahir di Andalusia adalah penganut mazhab
Maliki, diantaranya yaitu al-Baji (1081 M/474 H), Ibnul Arabiy (w. 1148 M/543
H.), Ibnu Rusyd (w. 1198 M/595 H ) dan bapak Maqashid Syariah Imam asy-Syatibi
(w. 1388 M/790 H).
Tentang
penyebaran empat mazhab besar yang ada dalam sejarah Islam, sejarawan Ibnu
Khaldun (w. 1405 M/808 H) dalam Muqaddimah pasal tentang “fikih” menyatakan hal
berikut: “Mazhab Hanbali banyak diikuti oleh penduduk Syam dan Baghdad. Mazhab
Abu Hanifah banyak dianut oleh sebagian besar penduduk Irak, India dan Cina.
Mazhab Syafii diikuti oleh penduduk Mesir. Adapun Mazhab Maliki tersebar luas
di daerah bagian Barat dunia Islam (Maroko dan Andalusia, Pen).
Sampai
abad kelima Andalusia memang masih identik dengan Mazhab Maliki, sampai
kemudian datang seorang tokoh yang bernama Ibnu Hazm mengguncang stabilitas
intelektual Andalusia dengan menyebarkan fikih Mazhab Zahiri. Mazhab Zahiri
(secara bahasa artinya literal) adalah mazhab yang didirikan oleh Abu Dawud
az-Zahiri (w. 883 M/270 H) yang berasal dari Ashfahan, salah satu propinsi di
Iran saat ini. Penulis biografi para ulama terbesar di abad modern, Abu Zahrah
(w. 1974 M/1394 H) menyebutkan bahwa pada awalnya Mazhab Zahiri bersama Mazhab
Hanafi, Syafii dan Maliki adalah empat mazhab besar di bagian Timur dunia
Islam. Sebaliknya, Mazhab Hanbali yang di kemudian hari menjadi mazhab besar di
dunia Islam, sebelum abad kelima belum begitu populer dan tidak banyak diikuti
oleh kaum muslimin. Namun berkat pengaruh seorang ulama besar mazhab Hanbali
Ibnu Abi Ya’la (w. 1065 M/458 H) bendera Mazhab Hanbali mulai berkibar dan
menggeser posisi Mazhab Zahiri di dunia Timur (Abu Zahrah, Ibnu Hazm Hayatuhu
wa Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 262).
Ajaran
pokok Mazhab Zahiri bertumpu pada dua hal; pertama, bahwa pemahaman terhadap
nash harus berdasarkan pada makna yang zahir saja. Al-Quran dan Sunnah, menurut
Mazhab Zahiri mampu menjelaskan maknanya sendiri, di mana zahir lafaz langsung
menunjukkan makna yang diinginkan oleh Allah, tanpa perlu proses penggalian
makna di belakang teks. Kedua, dalam masalah yang tidak ditemukan jawabannya
dari nash secara eksplisit, Mazhab Zahiri menggunakan konsep yang mereka sebut
dengan “dalil”, yaitu ber-istidlal dengan bersandarkan pada zahir teks pula.
Sekalipun
mengikuti Mazhab Zahiri dengan beberapa ciri umum di atas, Ibnu Hazm
sesungguhnya jauh melampaui literalitas Abu Dawud dalam bermazhab. Sebab apa
yang ia susun jauh lebih rumit dan lebih canggih. Secara epistemologis,
literalitas pada ushul fikih Ibnu Hazm adalah instrumen untuk menganulir
konsep-konsep sebelumnya yang ia pandang tidak relevan untuk digunakan di ushul
fikih (Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabiy, hal. 303). Seberapa besar
tingkat perbedaan Ibnu Hazm dengan Abu Dawud dan seberapa besar daya dobrak
Ibnu Hazm dalam ushul fikih, kita bisa menemukannya ketika kita membaca situasi
ushul fikih pada periodenya.
Ushul
fikih telah melalui beberapa periodesasi, di mana masing-masing periodesasi
memiliki problematika tersendiri. Pada periode Imam Syafi’i, ushul fikih
berhadapan dengan problem adanya pertentangan dua arus besar saat itu, yaitu ahlu
al-ra’yi dan ahlu al-hadist, sehingga tugas ushuliyyun pada periode itu adalah
melakukan harmonisasi di antara keduanya. Pada masa Ibnu Hazm ushul fikih telah
memasuki masa yang lebih kompleks lagi sehingga apa yang diusung oleh Ibnu Hazm
dalam ushul fikihnya adalah untuk mengatasi problem itu. Sebagai seorang
filosof, Ibnu Hazm menyadari bahwa problem terbesar saat itu yang dihadapi
ushul fikih adalah sikap prejudis (sinis) para ulama Islam terhadap produk
filsafat utamanya mantiq (ilmu logika) yang datang dari peradaban Yunani.
Padahal baginya ilmu logika sangat bermanfaat untuk disentesakan dengan objek
material teks-teks Islam. Sikap penuh curiga terhadap pemikiran yang datang
dari luar bagi Ibnu Hazm hanya akan membuat sempit ruang gerak umat Islam.
Selain
problem eksklusifitas ulama Islam terhadap filsafat, ia juga menyaksikan bahwa
secara internal ushul fikih khususnya yang bercorak bayani (yang bertumpu pada
analisa teks dan analogi antara dua kasus yang berbeda jenisnya atau disebut
qiyas al-far’ ala al-‘ashl) adalah sumber perdebatan di antara sesama ulama
yang menggunakannya. Setiap ulama yang menggunakan model analogi seperti ini
akan mengklaim bahwa produk fikihnya lah yang paling benar, padahal pada saat
yang sama ulama yang lain juga mengeluarkan klaim seperti itu. Dengan demikian,
menurut Ibnu Hazm, model analogi seperti itu hanya akan menghasilkan produk
fikih yang tumpah tindih satu sama lain (Ibnu Hazm, al-Muhalla, vol. I, 120).
Problem
mendasar yang juga mendorong Ibnu Hazm untuk menyusun ushul fikih ala Mazhab
Zahiri adalah telah tumbuh berkembangnya epistem irfani, baik yang
direpresentasikan oleh Syiah maupun oleh Sufi. Kecendrungan asal terabas,
berfikir pintas dan melompat pagar tanpa mengindahkan sistem kerja metodologis
dalam internal sebuah teks yang ada dalam episteme irfani telah membuat Ibnu
Hazm merasakan bahaya besar model berfikir seperti ini. Di komunitas Syiah
adanya keyakinan tentang “imam” telah menggiring mereka untuk mentakwilkan
nash-nash agama untuk kepentingan membenarkan adanya pemimpin yang berkuasa
penuh atas segala urusan umat Islam. Di komunitas Sufi, model berfikir irfani
ditunjukkan oleh adanya konsep ilham dan kasyf (penyingkapan) yang didapatkan
secara intuitif tanpa melalui prosedur yang jelas.
Epistem
irfani yang sarat dengan kontradiksi dan kontroversi ini telah menjadi
katalisator dominan bagi Ibnu Hazm untuk menyusun ushul fikih yang sepenuhnya
bertumpu pada kejelasan dan kepastian. Untuk itulah ia berusaha melakukan
penyusunan ulang (i’adah taksis) terhadap komponen ushul fikih dan
mensintesakan cara berfikir para fukaha (bayani) dengan cara berfikir para
filosof (burhani). Dari model ushul fikih bayani yang dibangun oleh Imam
Syafii, ada beberapa bagian yang menurut Ibnu Hazm harus dibuang, di samping juga
masih ada beberapa variabel yang tetap bisa dipertahankan. Pada model berfikir
burhani Ibnu Hazm menyatakan perlunya mantiq (ilmu logika) digunakan dalam
ushul fikih. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ushul fikih Ibnu Hazm
merupakan hasil kombinasi dan usaha penyusunan kembali dua komponen, yaitu
ushul fikih bayani (yang bertumpu pada teks) dan ushul fikih burhani (yang
bertumpu pada ilmu logika).
4.
Pendukung, penyebar serta karya Ibnu Hazm
Ibnu
Hazm adalah seorang penulis yang sangat produktif. Beberapa tokoh meletakkannya
nomor dua dalam sejarah Islam setelah Ibnu Jarir al-Thabari (w. 923 M/310 H)
dalam hal produktifitas menulis buku. Seperti dilaporkan anaknya, Abu Rafi’
al-Fadhl, karya Ibnu Hazm dalam berbagai disiplin ilmu mencapai 400 jilid atau
sama dengan 800.000 lembar kertas (al-Dzahabiy, Siyar A’lam Nubala, vol. 3,
hal. 325). Karya-karyanya mencakup sastra, sejarah, bahasa, fikih, ushul fikih,
tafsir, hadist, filsafat dan perbandingan agama. Sebagai seorang sastrawan, ia
menulis antologi syair yang berjudul Thauqul Hamamah (The Dove's Neck Ring)
yang telah banyak dikupas oleh ilmuwan Barat pada abad dua puluh. Karya
monumentalnya di bidang fikih adalah al-Muhalla yang di samping merupakan
representasi dari fikih Mazhab Zahiri, juga menghimpun pendapat-pendapat fikih
dari kalangan sahabat dan tabiin. Banyak sarjana Islam yang menyebut karya ini
sebagai ensiklopedi fikih terbesar milik umat Islam. Izzudin bin Abdis Salam,
faqih dari mazhab Syafii yang digelari sulthan al-ulama (penguasa para ulama)
dan diakui telah mencapai derajat mutlak dalam berijtihad, ketika memberikan
komentar tentang al-Muhalla mengatakan: “Aku tidak melihat dari buku-buku Islam
yang lebih baik dari al-Muhalla Ibnu Hazm dan al-Mughni Ibnu Qudamah
al-Muqdasi” ((al-Dzahabiy, Tadzkiratul Huffazh, vol. 3, hal. 1150).
Sebagai
seorang ilmuwan Ibn Hazm meninggalkan warisan berupa buku karangan yang
terhitung banyak, diantara buku karangannya adalah :
·
Al-Muhalla
(المحلى): Kitab ini merupakan
syarah kepada kitab Al-Mujalla (karangan beliau sendiri). Ia adalah karya agung
bagi Mazhab Zahiri, dan juga rujukan utama dalam fiqh perbandingan. Ia juga
adalah antara kitab Fiqh terbaik yang pernah dihasilkan oleh ulama Islam. Ia
telah dipuji oleh Al-Imam Izzuddin bin Abd As-Salam, kata beliau: “Aku tidak
pernah melihat pada kitab-kitab Islam dalam ilmu ini seperti Al-Muhalla oleh
Ibnu Hazm dan Al-Mughni oleh Syeikh Muwaffaquddin (Ibnu Qudamah)”. Kehebatan
Ibnu Hazm dalam ilmu hadith juga terserlah dalam kitab ini, di mana kesemua
hadith yang digunakan sebagai hujah adalah sahih dan diriwayatkan dengan sanad.
·
Al-Ihkam
fi Usul Al-Ahkam (الإحكام في أصول الأحكام): Salah sebuah kitab
penting dalam ilmu Usul Al-Fiqh.
·
Al-Fisol
fi Al-Milal wa Al-Ahwaa' wa An-Nihal (الفصل في
الملل والأهواء والنحل): Salah satu kitab
rujukan dalam ilmu perbandingan agama.
·
At-Taqrib
li Hadd Al-Mantiq bi Al-Alfaz Al-Aammiyyah wa Al-Amthilah Al-Fiqhiyyah (التقريب
لحد المنطق بالألفاظ العامة والأمثلة الفقهية): Kitab ini merepresentasikan
kehebatan Ibnu Hazm dalam ilmu mantiq. Beliau yang meyakini faedah belajar ilmu
mantiq mencoba mengenalkan ilmu ini kepada publik dengan menggunakan bahasa
penuturan biasa dan contoh-contoh diambil dari ilmu fiqh. Walaupun beliau telah
dikritik atas tindakannya ini karena konon menyalahi Aristoteles dan
menunjukkan ketiak matangannya dalam ilmu ini, namun tidaklah mustahil jika
Ibnu Hazm sebenarnya ada tujuan yang tersendiri dibalik itu. Kemungkinan besar
beliau menjadikan hujjah-hujjah logis dalam ilmu mantiq sebagai alternatif
qiyas yang telah divonis menyalahi aturan oleh beliau.
·
Towq
Al-Hamamah (طوق الحمامة): Kitab ini
memperlihatkan kehebatan Ibnu Hazm dalam ilmu psikologi, terutama yang
berkaitan dengan cinta dan kasih sayang. Di antara bab yang menarik dalam kitab
ini ialah: “Bab Tanda-tanda Cinta”, di mana beliau telah menyebutkan 19 tanda
bagi orang yang jatuh cinta dan yang sedang bercinta. Beliau juga tidak
canggung menceritakan “kisah cintanya” sendiri di zaman remajanya.
Tidak
dapat diragukan lagi bahwa ibn Hazm adalah seorang pakar dibidangnya, hal
tersebut dapat kita lihat dari komentar beberapa tokoh, diantaranya:
·
Abu
Hamid Al-Ghazali: ”Saya melihat buku-buku karangan Ibn Hazm, semuanya
menunjukkan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya”.
·
Al-hafidz
Abu Abdillah Muhammad bin Futuh Al-Humaidi: ”Saya tidak pernah melihat sosok
seperti ibn Hazm yang memiliki kecerdasan, kekuatan hafalan, kemuliaan dan
keteguhan menjalankan agama”.
·
Izzu
Al-Din bin Abd Salam: ”Saya tidak pernah melihat dalam buku-buku keislaman yang
sebanding dengan Al-Muhalla karangan Ibn Hazm”.
·
Menurut
Muhammad Zahro, Ibn Hazm mempunyai talenta yang membentuknya menjadi ulama
besar, ditambah kemampuan hafalannya yang sangat luar biasa, disamping hafal
hadis-hadis Nabi, Ibn Hazm juga hafal diluar kepala fatwa-fatwa para sahabat
dan tabi’in. Ibn Hazm bukan hanya sekedar menghafal apa yang dia pelajari tapi
dia juga mempunyai ketajaman analisa, sehingga dalam beberapa tulisannya nampak
bagaimana Ibn Hazm dalam menyelami masalah yang dibahasnya hingga ke dasar,
sebagaimana dalam kitab ”al-milal wa al-nihal” , juga dalam kitab ”thuqu
al-hamamah” yang membahas manusia dari sisi kejiwaan.
Struktur Ushul
Fikih Ibnu Hazm
Dalam
hirarki ulama-ulama fikih, Ibnu Hazm layak dikategorikan ke dalam varian
mujtahid mutlaq, sama seperti empat imam mazhab besar. Selain karena faktor
sumbangsih Ibnu Hazm terhadap metode ijtihad Mazhab Zahiri (yang jauh melampaui
Abu Dawud), dalam Mazhab Zahiri memang tidak dikenal istilah mujtahid muntasib
atau mujtahid fi al-mazhab. Hal itu dikarenakan secara tegas mereka menolak
taklid dan tidak menyebut diri pengikut mazhab tertentu, sekalipun mereka
mengidentifikasi diri dengan Mazhab Zahiri. Masing-masing dari penganut Mazhab
Zahiri dalam merumuskan sebuah hukum selalu berijtihad langsung dari al-Quran
dan Sunnah Nabi dan satu sama lain tidak saling ‘mencontek’ pendapat. Secara
kebetulan mereka memang memiliki kesamaan pandangan dalam metodologi, namun
kesamaan tersebut tidak berlaku dalam masalah hukum fikih, sehingga otomatis
seluruh pengikut Mazhab Zahiri adalah mujtahid mutlak (Abu Zahrah, Ibnu Hazm
Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 275). Ibnu Hazm membangun ushul
fikihnya di atas empat sumber, yaitu al-Quran, Sunnah Nabi, Ijmak (Konsensus)
dan Dalil (Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, vol. I, hal. 86).
Al-Quran,
seperti dipahami Ibnu Hazm, bertingkat-tingkat aspek kejelasan (bayyin) nya
(al-Ihkam, hal. 95). Ada ayat-ayat yang tidak membutuhkan keterangan ayat lain
karena kandungannya yang sudah sangat terang benderang, seperti ayat-ayat
tentang warisan untuk anak dan untuk suami atau istri, ayat tentang li’an
(sumpah bagi tuduhan zina yang tidak berdasarkan bukti) dan ayat tentang
hukuman bagi orang yang membuat tuduhan zina yang tidak terbukti (haddu
al-qadzfi). Ada pula ayat-ayat yang membutuhkan keterangan dari ayat lain
karena bersifat mujmal (global), seperti ayat tentang thalaq (perceraian),
zawaj (pernikahan) dan iddah (masa menunggu bagi mantan istri). Selain itu, penjelas (mubayyin) bagi ayat
al-Quran berbeda-beda tingkat kejelasannya, sehingga tidak mustahil menurutnya
pemahaman para mujtahid akan berbeda-beda pula satu sama lainnya. Secara umum,
Ibnu Hazm mengkategorikan mubayyin ayat-ayat al-Quran menjadi dua macam;
pertama, takhsis (pengkhususan) ayat khusus terhadap ayat yang umum. Kedua,
naskh (penghampusan hukum) ayat yang telah lebih dahulu turunnya. Namun, titik
perbedaan antara Ibnu Hazm dari ulama lainnya adalah ia tidak memasukkan
tafhsil (perincian) dan taqyid (pengikatan makna) dalam kategori mubayyin (Abu
Zahrah, Ibnu Hazm, hal, 283).
Pandangan
Ibnu Hazm mengenai Sunnah sama dengan pandangan Imam Syafii, pendiri ilmu ushul
fikih. Bagi dua tokoh ini, al-Quran dan Sunnah adalah nushus (teks-teks) yang
satu sama lain saling melengkapi. Ibnu Hazm meletakkan sunnah sejajar dengan
al-Quran karena keduanya sama-sama berasal dari Allah Swt. (wahyu). Bedanya
adalah al-Quran memiliki aspek i’jaz
sedangkan Sunnah tidak. Ibnu Hazm membagi Sunnah menjadi tiga tingkatan,
yaitu qaul (perkataan), fi’il (perbuatan) dan taqrir (ketetapan) nabi Muhammad
Saw.. Sunnah yang bisa menunjukkan hukum wajib (yufidul wujub) hanyalah Sunnah
Qauliyah. Adapun perbuatan nabi, dianggap tidak menunjukkan kewajiban kecuali
jika ada perkataan nabi yang mengiringinya, seperti sabda nabi tentang cara
salat; صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي (salatlah kamu sebagai mana kamu sekalian
melihatku salat). Sementara taqrir nabi hanya bisa menunjukkan aspek ibahah
(kebolehan) satu perbuatan saja, tidak bisa mewajibkan, mensunnahkan dan
melarang sesuatu. Ibnu Hazm membagi sunnah dari segi banyaknya perawi ke dalam
dua jenis; mutawatir dan ahad.
Hadist
mutawatir yang diriwayatkan oleh banyak orang menurut nya adalah hujjah
qathiyyah. Namun makna tawatur dalam perspektif Ibnu Hazm berbeda dengan jumhur
ulama. Hadist bisa mencapai derajat mutawatir walaupun hanya diriwayatkan dua
orang perawi saja, dengan syarat sudah mustahil untuk terjadi kesepakatan untuk
berbohong di antara mereka. Jika satu orang yang berasal dari satu tempat
meriwayatkan hadist, kemudian ada orang lain dari negeri yang jauh dari negeri
orang pertama juga meriwayatkan hadist yang sama, dan mereka berdua tidak
pernah sama sekali bertemu, bagi Ibnu Hazm hadis ini sudah masuk kategori
mutawatir berdasarkan aksiomatika akal (badahiyyatul aql).
Mengenai
hadist ahad, Ibnu Hazm juga berbeda dengan mayoritas ulama. Sifat ahad bisa
saja dilekatkan pada hadis yang diriwayatkan orang dalam jumlah banyak namun
masih berpotensi untuk terjadi kebohongan di antara mereka. Dengan demikian,
mutawatir dan ahad dalam definisi Ibnu Hazm memang tidak mengacu pada kuantitas
perawi, tapi pada kemungkinan terjadi kebohongan di antara mereka. Mengenai
hujjiyah hadist ahad, Ibnu Hazm berada di barisan jumhur ulama yang menyatakan
bahwa hadis dengan kategori ini bisa diterima, baik dalam masalah fikih ataupun
akidah. Selain itu, dalam Sunnah, Ibnu Hazm tidak menerima hadis yang sanad-nya
tidak bersambung, seperti hadis mursal yang tidak menyebutkan nama perawi dari
tingkatan sahabat, kecuali jika ada musawwigh (pembenar) untuk menerimanya.
Contohnya adalah hadis tentang terbelahnya bulan di zaman nabi yang dikuatkan
kebenarannya oleh ayat al-Quran (QS. 54:1) (Ibnu Hazm, al-Ihkam, hal. 228).
Ibnu
Hazm menolak adanya ta’arudh nushus (kontradiksi antara teks) seperti
dipercayai oleh banyak ulama. Baginya antara teks al-Quran dan Sunnah adalah
satu paket wahyu ilahi yang satu sama lain saling membantu dan menguatkan dalam
menjelaskan hukum-hukum syar’i (Ibnu Hazm, al-Ihkam, hal. 199). Sebagai
konsekwensi dari penolakan terhadap ta’arudh, Ibnu Hazm juga menolak tarjih (memilih
salah satu), karena semua dalil yang tampak bertentangan tersebut sesungguhnya
bisa dikompromikan. Cara mengkompromikan dalil-dalil tersebut ada beberapa hal,
diantaranya adalah dengan takhsis (pengkhususan). Dari dua dalil yang secara
zahir bertentangan salah satunya bisa jadi adalah dalil yang khusus sedangkan
yang lain dalil umum. Seperti dalam kasus larangan nabi bagi orang yang berhaji
untuk tidak meninggalkan masjidil haram sebelum ritual haji selesai, yaitu
dengan melakukan tawaf wada’. Namun pada kesempatan yang lain nabi pernah
mengizinkan wanita haid untuk pulang. Berhadapan dua kasus tersebut, bisa
dikatakan bahwa wanita haid adalah pengecualian (pengkhususan) dari larangan
umum yang berlaku bagi yang lain.
Cara
lain untuk menghindari pertentangan antar nash menurut Ibnu Hazm adalah dengan
mengingkari mafhum mukhalaf. Bagi ulama yang mempercayai mafhum mukhlafah, maka
ayat “إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى yang merupakan
perintah umum untuk berbuat baik kepada siapa saja, akan bertentangan dengan
ayat khusus yang berbunyi وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا yang secara khusus menyuruh perintah berbuat baik terhadap
orang tua. Jika ayat kedua ini di-mafhum mukhalafah-kan, maka akan bermakna;
“selain kepada orang tua, janganlah berbuat baik”. Untuk menghindari
pertentangan seperti itu, Ibnu Hazm menolak dengan tegas mafhum mukhlafah.
Sumber
hukum ketiga yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Hazm adalah ijmak. Ijmak oleh
Ibnu Hazm didefinisikan sebagai kesepakatan mengenai suatu hukum yang diterima
secara turun temurun oleh umat Islam dari generasi ke generasi. Apa yang
membuat Ibnu Hazm berbeda dengan kebanyakan ulama adalah ia hanya mengakui
ijmak yang bersandarkan langsung pada nash (teks) agama. Pandangan ini serupa
dengan Imam Syafi’i dan belakangan akan diikuti juga oleh Ibnu Taimiyah. Ijmak
yang didasarkan pada qiyas ditolak oleh Ibnu Hazm, karena baginya qiyas sebagai
metode untuk menemukan kausa (illah) dalam sebuah nash sangatlah relatif,
sehingga tidak jarang ditemukan produk hukum dari metode ini yang tumpang
tindih satu sama lainnya. Karena menolak kesepakatan hukum yang tidak
berdasarkan nash, implikasinya adalah definisi ijmak Ibnu Hazm menyempit hanya
pada hal-hal yang diketahui oleh Rasulullah dan sudah jelas-jelas diberitakan
oleh agama (ma ‘ulima min al-din bi al-darurah) seperti tentang masalah
keimanan, pokok-pokok ibadah salat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. Ijmak
yang tidak diketahui oleh Rasulullah atau dengan kata lain selain ijmak para sahabat
dianggap tidak sah (al-Ihkam, hal. 547). Ijmak di antara para sahabat
sendiripun menurutnya tidak mungkin terjadi lagi setelah Rasulullah wafat,
sebab mereka telah berpencar ke wilayah-wilayah Islam yang sangat luas dan
mustahil sekali untuk dikumpulkan.
Ulama
Islam menurut Ibnu Hazm harus berhati-hati mengatakan telah ada ijmak sahabat
setelah Rasulullah wafat, sebab sesuatu yang sudah disepakati secara bulat
(ijmak) harus ditaati dan bagi siapa saja yang berbeda pendapat dihukumi kafir.
Ibnu Hazm misalnya membantah klaim bahwa para sahabat telah ber-ijmak tentang
putusan Umar bin Khatab mencambuk (ta’zir) 80 kali bagi peminum khamar pada
masanya (al-Ihkam, 559). Implikasi logis dari penolakan Ibnu Hazm terhadap
ijmak selain ijmak sahabat di zaman nabi adalah penolakannya terhadap ijmak
ahlul madinah (penduduk Madinah). Dikatakannya bahwa konsep ini sama sekali
tidak memiliki dasar, dan sesungguhnya baru dimunculkan oleh Mazhab Maliki
untuk membenarkan taklid terhadap Imam Malik yang menganggap kesepakatan
penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukum (al-Ihkam, hal. 595).
Dasar
keempat dari ushul fikih Ibnu Hazm adalah “dalil”. Mengenai definisi dalil ini,
Ibnu Hazm mengatakan bahwa banyak orang telah salah faham dengan menyamakan
dalil dengan qiyas, sehingga Mazhab Zahiri dianggap tidak konsisten (al-Ihkam,
hal. 714). Padahal antara qiyas dengan dalil ada jarak yang sangat jauh, di
mana qiyas adalah usaha menganalogikan dua kasus fikih melalui kesamaan kausa
(illah), sedangkan dalil adalah model ijtihad yang menderivasi hukum langsung
dari nash al-Quran maupun ijmak dan tidak menggunakan instrumen analogi. Jika
ditelisik struktur apa yang disebut dalil dalam mazhab zahiri sebenarnya tak
lain adalah qiyas Aristoteles atau disebut juga silogisme (Abid al-Jabiri,
Binyah al-Aql Arabiy, hal. 526). Silogisme sendiri adalah produk ilmu logika
(mantiq) yang datang dari peradaban non-Islam. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa Ibnu Hazm termasuk ulama yang gigih dan paling berani
memperjuangkan penggunaan mantiq dalam ilmu-ilmu keislaman.
Dalam
silogisme terdapat dua premis (mukadimah), yaitu mayor (kubra) dan minor
(sughra). Dua premis itu kedua-duanya bisa datang dari nash, seperti premis
yang diambil dari hadis nabi: setiap yang memabukkan adalah khamr (mayor) dan
setiap yang khamar itu haram (minor). Dari penggunaan silogisme ini, bisa
dihasilkan satu kesimpulan hukum (natijah, conclusion) berupa “setiap yang
memabukkan adalah haram”. Haramnya narkoba di zaman sekarang misalnya memang
tidak disebutkan di batang tubuh teks hadis tersebut, tetapi merupakan lazimah
(akibat langsung) yang didapatkan secara aksiomatis dari hadis nabi di atas.
Selain
kedua premis itu bisa semuanya nash, bisa pula salah satunya nash, sementara
satunya lagi aksiomatika akal (badahiyyatu aql). Contohnya: premis minor yang
berupa ayat al-Quran yang berbunyi وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ (kedua orang tua mayit mewarisi harta si
mayit dan ibu mendapat jatah sepertiga). Sedangkan premis mayornya adalah
aksiomatika akal bahwa satu adalah gabungan dari sepertiga dan dua pertiga.
Maka dari kesimpulan silogisme dua premis itu adalah “ayah akan mendapatkan jatah
dua pertiga jika ahli warisnya hanya ada ayah dan ibu” (al-Ihkam, hal. 83).
Pada dasarnya bisa disimpulkan bahwa qiyas yang ditolak Ibnu Hazm adalah qiyas
bayani yang bersifat asumtif dan berdiri di atas dua bagian (al-ashl dan
al-far’) yang satu sama lain independen (infishal). Sementara qiyas yang
diterima oleh Ibnu Hazm adalah qiyas yang tidak memisahkan dua perkara ke dalam
jenis-jenis yang parsial, yaitu yang terdapat dalam metode silogisme
Aristoteles.
Perbedaan
yang sangat esensial antara Ibnu Hazm dengan jumhur (mayoritas) ulama adalah
dalam masalah ta’lil al-ahkam, yaitu bahwa segala hukum memiliki memiliki kausa
(illah) nya sehingga bisa digeneralisir kepada kasus lain yang memiliki
kesamaan kausa. Bagi kebanyakan ulama, kausa adalah ciri pokok dari setiap
kasus fikih. Dengan demikian, mencari kausa dari ayat al-Quran sangatlah
penting, karena sifat al-Quran dan Sunnah yang terbatas jumlahnya (mutanahi),
sementara realitas tidak terbatas dan terus berkembang (ghairu mutanahi).
Sesuatu yang bersifat terbatas tidak bisa menjawab secara langsung entitas lain
yang tidak terbatas, jika tidak menggunakan tehnik ta’lilu al-ahkam. Oleh
karena itu, jika ingin tetap konsisten menjadikan syariah Islam sebagai
pegangan hidup maka sudah barang tentu diperlukan qiyas. Contohnya adalah dalam
kasus haramnya khamr. Para ulama melakukan kajian induktif tentang apa yang
membuat khamr menjadi haram, sehingga barang lain yang memiliki kesamaan sifat
dengan khamr dapat pula dikategorikan haram. Namun tidak demikian dengan Mazhab
Zahiriyah. Mereka memang menyatakan bahwa di balik setiap nash ada kemaslahatan
bagi manusia. Namun setiap nash tidak bisa melampaui bentuk zahirnya sendiri,
sehingga mencari illah yang tersembunyi di belakangnya adalah usaha yang
dianggap melanggar batas.
Mencari
illah sebuah hukum menurut Ibnu Hazm sama artinya mempertanyakan untuk apa
Allah melakukan satu perbuatan. Dalam al-Quran sudah disebutkan bahwa Allah
tidak bisa ditanya dan manusialah yang akan ditanya (QS. 21:23). Di sini
sesungguhnya Ibnu Hazm melakukan kesalahpahaman, sebab mencari illah bukanlah
mempertanyakan keputusan Allah tentang suatu perkara, melainkan hanya mencari
sifat dalam suatu hukum yang relevan untuk diterapkan pada kasus lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peran
kota Andalusia dalam mengisi masa keemasan islam tidak bisa diremehkan. Dikota
inilah banyak lahir manusia-manusia yang kelak menjadi imam dalam keilmuan
islam. Hadirnya Ibnu Hazm tidak hanya melengkapi deretan daftar nama-nama
‘Ulama islam, akan tetapi juga ikut berperan aktif mewarnai corak mazhab islam.
Ketekunan beliau dalam belajar, semangat beliau dalam menyelami agama,
kegigihan beliau memperjuangkan keyakinannya patut kita teladani dan jadikan
ibroh dalam membangun konstruksi islam yang rahmatan lil ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
- Khalid, Anwar. Zahiriyah Ibnu Hazm Nazhariyah al Ma’rifah wa Manhiju al Bahts.
- Khallaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh. (Jakarta : DDII, 1972).
- Muhammad, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Cairo, mathba-ah al-Madani.
- Madkour, Dr. Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat. (Jakarta : Bumi Aksara, 1995).
- Ibn Hazm, Abu Mahammad Ali bin Ahmad, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Cairo, Maktabah Saadah, cet I, 1347H.
- Jabiri, Abid al-. Binyah al-Aql al-Arabiy.
- Khaldun, Ibnu. Muqaddimah.
- http://poltik91.blogspot.com/2013/05/makalh-ibnu-hazm-politik.html
- http://m-rofiqmuzakkir.blogspot.com/2011/12/ushul-fikih-di-andalusia-biografi-dan.html
- http://ghanie-np.blogspot.com/2011/03/biografi-dan-pemikiran-ibn-hazm-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar